Selasa, 24 Maret 2015

Memanjakan Anak Sama Saja Menumpulkan Daya Berpikirnya

Sebagai orang tua, sejatinya ingin anaknya bahagia. Semua keinginan anaknya terpenuhi. Sehingga anak pun tampa disadari telah kita manjakan. Maksud hati ingin meringankan kerja anak, tapi dampaknya malah membuat anak menjadi pasif. Tidak mengerti apa yang harus dilakukan bahkan tidak tahu harus mengambil keputusan anak.

Orang tua hanya mengetahui bahwa anak jangan dimanjakan. Tapi pada realitanya anak pun dilayani secara berlebihan.

Saya menemukan satu kasus, dimana anak tersebut menjadi pasif karena terbiasa dilayani oleh orang tuanya. Saya perhatikan, anak ini tidak mengerti bagaimana memotong buah dengan benar, tidak mengerti bagaimana makan ikan yang benar, bagaimana menghilangkan duri ikan yang benar, bahkan tidak memiliki antusias untuk berkarya. Setelah saya tanyakan, ternyata dia terbiasa dipotongi buah oleh ibu asuhnya. Ya, anak ini diasuh oleh ibu asuh yang merupakan tantenya sendiri. Orang tuanya bekerja, sehingga tidak sempat mengurusi dirinya. Hmm.

Simple memang. Tapi ini bisa berdampak buruk untuk perkembangan anak. Memang sebagai orang tua, tentu takut anaknya terluka. Namun, tahu kah bahwa luka itu akan menjadikan pelajaran untuk dirinya? Otaknya akan mengingat luka tersebut dan tidak akan melakukannya lagi.

Anak yang tidak dibiasakan melakukan pekerjaan rumah, bahkan diajari berpikir untuk mengatasi masalah, akan menjadikan dirinya menjadi pasif. Ketika dia harus terjun ke kehidupan nyata, tentu dia akan menjadi olokan orang banyak. Beberapa anak mungkin akan berubah menjadi egois. Tentu Anda tidak ingin anak Anda menjadi egois bukan? Maka sebaiknya lakukan saran saya ini.

1. Ajarkan apa itu "Adil"

Biasakan anak diajari tentang arti adil. Sebagai contoh, biasakan ibu membagikan makanan sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Memang terlihat sangat pelit. Namun, di sini anak diajarkan untuk mengingat bahwa ada hak orang lain di makanan yg ia miliki. Anak diajarkan untuk berbagi. Dan tidak rakus.

2. Sertakan anak dalam setiap kegiatan membersihkan rumah

Dalam setiap aktifitas di rumah, biasakan orang tua menyertakan anak untuk ikut membantu. Jangan takut anak menjadi kotor. Kotoran yang melekat di bajunya merupakan hasil kerjanya yang telah ia selesaikan. Kegiatan ini mengajarkan rasa tanggung jawab dan mengajarkan arti tolong menolong kepadanya. Selain itu, kegiatan ini mengajarkan kedisiplinan juga terhadap anak.

3. Ajarkan arti usaha dan menabung

Kebiasaan yang sering dilakukan orang tua adalah memberikan apa pun yang anak inginkan. Boleh, tapi jangan sampai melampaui batas.

Caranya adalah dengan membiasakan anak mendapatkan sesuatu setelah dia berusaha. Berikan upah sedikit demi sedikit untuk apa yang telah ia kerjakan dengan baik. Ajarkan juga anak Anda untuk menabung. Uang yang telah ia kumpulkan bisa ia pakai untuk membeli barang yang ia inginkan.

4. Ajak anak bermain permainan yang bisa mengasah kreatifitasnya

Saat ink banyak permainan yang dapar mengasah kreatifitasnya. Pilih lah salah satu. Tapi saya sarankan jangan berikan anak Anda aplikasi game pada smartphone Anda. Selain radiasi, dampaknya juga membuat anak susah untuk bersosialisasi. Usaha kan orang tua terlibat di dalamnya.

5. Jangan biasakan mengupas buah untuk anak

Pisau memang barang yang sangat berbahaya untuk anak-anak. Bila anak Anda sudah besar, biarkan anak Anda mengupas dan memotong buahnya sendiri. Jangan biarkan dia merajuk ingin dikupasi. Hal ini memang masalah kecil, tapi pada kenyataannya ada orang yang tidak mengerti bagaimana mengupas buah yang benar sampai dia dewasa.

Demikian saran dari saya. Semoga bermanfaat untuk para orang tua yang sedang belajar bagaimana mengasuh anak yang benar. Ingat jangan sampai terlambat! Karena dampaknya berpengaruh kepada perkembangan EQ anak.

Selasa, 10 Maret 2015

Menjadi Ibu Rumah Tangga Itu Sulit Bagiku

Aku adalah seorang wanita yang terbiasa mandiri. Terbiasa mengatur semua sendiri. Semua serba sendiri.

Aku adalah wanita aktif yang tidak biasa tidak memiliki aktifitas di luar. Dari kecil, aku sudah sering pergi keluar rumah, walau hanya bermain ke rumah teman. Bisa kuhitung berapa kali aku tidak keluar rumah.

Saat liburan sekolah pun, aku terbiasa ikut (alm.) bapak berlayar keluar kota. Ya, bapak ku adalah seorang pelayar di salah satu perusahaan pelayaran negeri.

Setiap aku ikut berlayar dengan (alm.) bapak, tidak pernah sekali pun aku berdiam diri di kamar. Setiap hari, setiap pagi, aku selalu berjalan-jalan sendiri mengelilingi kapal. Padahal usiaku saat itu masih berumur 7 tahun. Entah bagaimana aku menemukan jalan kembali ke kamar (alm.) bapak. Yang jelas, aku berpikir, "Dimana ada pintu terbuka, pasti disitu ada jalan".

Aku terbiasa mencari jalan sendiri. Menghapalnya dan memperkirakan arah jalan yg aku ambil. Aku sendiri tidak tahu apa yg aku cari. Tapi yang aku ingat saat ini adalah aku senang melihat pemandangan laut, senang dengan suara ombak, dan juga senang melihat ikan-ikan yang berenang di dekat kapal.

Aku tahu mana yang berbahaya untukku dan mana yang tidak. Aku tahu kemana pun aku pergi pasti aku kembali. Oleh sebab itu, (alm.) bapak memberikan kunci cadangan kepadaku.

Singkat cerita aku pun mulai kuliah. Saat kuliah pun aku sering jalan-jalan ke kota Tua dan Bogor dengan menggunakan transportasi Kereta Api Listrik Commuter Line. Sebenarnya, aku sama sekali tahu jalan. Modalku hanya bertanya.

Kemudian aku pun lulus kuliah, aku mengumpulkan uang transport untuk interview dengan membantu ibuku berjualan kue. Dengan mengantarkan kuenya, aku mendapatkan upah Rp 5.000,- sehari. Dan jika aku membuat 1 jenis kue, untung yg didapat dibagi 2 oleh ibuku. Modalnya aku buatkan kue yg sama.

Setiap hari aku menabung dari upahku itu. Pulsa, transportasi, jajan, aku kumpulkan dari upahku itu. Sampai akhirnya aku bekerja. Aku memiliki penghasilan sendiri. Yah, walau begitu aku tetap menyisihkan uang untuk ibuku. Meskipun tidak seberapa, setidaknya bisa untuk uang makan kami. Tidak lupa aku menyisihkan uang untuk obat kakak ku. Sampai tidak ada satu pun yg tersisa di tabunganku.

Akhirnya aku pindah ke perusahaan televisi swasta. Di situ aku sangat terbantu. Uang makan dapat cash. Sehingga gajiku tidak ku utak utik sama sekali. Setiap bulan aku bisa menabung, tapi tabunganku selalu habis untuk membayar kewajibanku. Yah, biaya kuliahku di dapat dari pinjaman. Dalam tempo tertentu, aku harus mengembalikan uangnya.

Begituuu terus, sampai akhirnya aku sakit karena kecapean. Dengan berat hati dan dengan penuh pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk resign. Kebetulan aku akan menikah. Aku lebih memilih menjadi Ibu Rumah Tangga daripada kerja. Selain itu, ibuku di rumah sendirian. Jadi kupikir sekalian saja aku menemani Beliau.

Awal-awal kupikir menjadi Ibu Rumah Tangga itu gampang. Tapi ternyata tidak semudah itu. Karakterku yg telalu "kaku" membuatku sulit untuk bergaul dengan tetanggaku. Yah, aku mengerti ini lah yg dinamakan hidup bertetangga. Tapi bertetangga dalam konteksku sangat berbeda. Bagiku, bertetangga bukan berarti kita berhak ikut campur dengan urusan orang lain. Bukan juga kita dengan seenaknya menceritakan aib orang kepada tetangga yang lain. Tidak. Aku tidak bisa seperti itu.

Aku tidak terbiasa begosip dengan banyak orang. Orang kepercayaanku bisa dihitung. Dan hanya beberapa saja yang aku ceritakan mengenai masalah hidupku.

Aku pun tidak suka urusan pribadiku disentuh orang lain. Karena sikapku itu, aku terlihat seperti orang "aneh" dimata mereka. Mungkin ini karena kebiasaanku yang penuh dengan aktifitas di luar rumah, jadinya aku sama sekali tidak pernah terpikir ke situ.

Belom lagi soal uang. Aku terbiasa tidak meminta uang kepada siapa pun selain orang tuaku (dulu). Tapi setelah aku menjadi ibu rumah tangga, aku terpaksa meminta uang bulanan kepada suamiku. Karena merasa itu bukan uangku, aku tidak berani menggunakannya untuk berpergian. Kalau aku mau pergi, harus ada suamiku. Jadi dia ikut merasakan makanan yang aku beli di luar, dan ikut merasakan kesenangan dan capeknya jalan keluar rumah. Tapi ternyata hal ini sungguh menyiksaku.

Aku sempat heran mengapa ibuku bisa hidup seperti ini. Tapi akhirnya aku teringat, ibuku tidak sepenuhnya bergantung kepada (alm.) bapak. Beliau juga punya penghasilan sendiri dari hasil berjualan kue. Tidak seberapa, tapi tetap bisa untuk membeli makan.

Aku salut dengan ibu-ibu yang memilih jalan untuk berhenti bekerja dan memilih tinggal di rumah mengurus pekerjaan rumah, anak dan juga suami. Bagaimana mereka bisa menepis rasa bosan mereka selama di rumah? Bagaimana mereka bisa bertahan selama itu? Hmmm.. Mungkin memang aku harus bekerja. Tubuhku rindu akan aktifitas. Tubuhku rindu menghasilkan uang sendiri. Tubuhku rindu dengan keringatku.

Tapi yang jelas, Salut untuk para ibu rumah tangga!