Sering kali saya melihat [terutama] sebuah acara pernikahan budaya yogjakarta dengan surakarta tertukar. Sedih rasanya saya melihat betapa buruknya pengetahuan bangsa kita mengenai budaya jawa, khususnya orang jawa sendiri.
Saya terlahir sebagai orang jawa. Meskipun saya lahir di Jakarta, tapi saya bangga menjadi orang jawa. Ayah saya lahir di Tegal, tapi beliau ada keturunan Surakarta. Sedangkan ibu saya lahir di Malang, tapi masih ada keturunan Yogjakarta. Saya ingat ibu pernah berkata, bahwa Eyangnya pernah memberi pesan, "Kowe iki wong jowo, ojo lali jowone", yang artinya kamu ini orang jawa, jangan sampai kehilangan jawanya. Kehilangan jawanya di sini maksudnya pada kepribadian orang jawa berikut dengan budayanya. Kalau saya cermati pesan itu penuh dengan makna. Memang benar, saya sebagai orang jawa, rasanya malu sekali jika sampai tidak bisa membedakan mana kain batik yogjakarta, dan mana yang berasal dari surakarta. Belum lagi budayanya. Tariannya saja antara yogjakarta dan surakarta sangat berbeda. Di sini saya akan mencoba menjelaskan perbedaannya.
1. Batik
Batik yogjakarta itu cenderung berwarna putih hitam. Sedangkan untuk kain batik surakarta, cenderung berwarna coklat atau orang jawa biasanya menyebutnya dengan istilah "Lurik".
Setiap kain, terdapat wiru. Wiru adalah lipatan pada ujung kain batik yang menyerupai kipas. Wiru berjumlah ganjil 3, 5, 7, 9 dan seterusnya. Lebar wiru untuk perempuan adalah sekitar 2 cm. Semakin banyak jumlah wirunya, maka akan semakin kelihatan indah waktu dipakai.
Pada wiru gaya Jogya, pinggiran batik yang disebut tumpal tidak dilipat ke dalam tapi diperlihatkan atau dilipat keluar. Sedang tumpal batik pada wiru gaya Solo dilipat kedalam dan tidak diperlihatkan. Baru sesudah itu lipatan-lipatan selanjutnya akan sama, yaitu kearah luar.
2. Blangkon
Perbedaan juga terdapat pada blangkonnya. Pada blangkon Yogya terdapat ‘mondholan’, sedangkan blangkon surakarta bagian belakangnya pipih/rata. Hal ini tentu mempunyai filosofi masing-masing, berikut adalah filosofi dari kedua jenis blangkon.
Blangkon yogyakarta mempunyai mondholan. Mondholan gaya Yogyakarta berbentuk bulat seperti onde-onde. Hal ini dikarenakan pada waktu itu, awalnya laki-laki Jogja memelihara rambut panjang kemudian diikat keatas (seperti Patih Gajah Mada) kemudian ikatan rambut disebut gelungan kemudian dibungkus dan diikat, lalu berkembang menjadi blangkon.
Kemudian menjadikan salah satu filosofi masyarakat jawa yang pandai menyimpan rahasia, tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri karena ia akan serapat mungkin dan dalam bertutur kata dan bertingkah laku penuh dengan kiasan dan bahasa halus, sehingga menjadikan mereka selalu berhati-hati tetapi bukan berarti berbasa-basi, akan tetapi sebagai bukti keluhuran budi pekerti orang jawa. Dia pandai menyimpan rahasia dan menutupi aib, dia akan berusaha tersenyum dan tertawa walaupun hatinya menangis, yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana bisa berbuat yang terbaik demi sesama walaupun mengorbankan dirinya sendiri.
Sedangkan pada blangkon surakarta tidak terdapat mondholan. Blangkon gaya surakarta mondholannya trepes atau gepeng. Karena waktu itu lebih dulu mengenal cukur rambut karena pengaruh belanda, dan karena pengaruh belanda tersebut mereka mengenal jas yang bernama beskap yang berasal dari beschaafd yang berarti civilized atau berkebudayaan.
Tidak adanya tonjolan hanya diikatkan jadi satu dengat mengikatkan dua pucuk helai di kanan dan kirinya, yang mengartikan bahwa untuk menyatukan satu tujuan dalam pemikiran yang lurus adalah dua kalimat syahadat yang harus melekat erat dalam pikiran orang jawa.
3. Pakaian
Pakaian Adat pria yogjakarta sehari-hari disebut surjan. Ada 2 macam motif yaitu surjan lurik dan surjan kembang. Kalau di Surakarta, pakaian pria namanya Beskap, bentuknya seperti jas didesain sendiri oleh orang Belanda yang berasal dari kata beschaafd yang berarti civilized atau berkebudayaan.
Perbedaan beskap dan surjan yang paling menonjol yakni terletak pada bentuk pemberian kancing, pada gaya Surakarta bentuk kancing berada di samping akan tetapi pada gaya yogjakarta letak kancing berada lurus dari atas kebawah.
4. Keris
Keris gaya surakarta disebut ladrang sedangkan yogjakarta bernama Branggah. Ladrang mempunyai bilah (sarung keris) yang lebih ramping dan sederhana tanpa banyak hiasan karena mengikuti gaya senopatenan dan mataram sultan agungan. Sementara keris Surakarta pada bilahnya lebih banyak ornamen dan bentuk/motif karena mengikuti cita rasa Madura dari Mpu Brojoguno. Ukiran keris surakarta bertekstur lebih halus daripada yogjakarta. Juga ada perbedaan dari gagang keris, luk, dll. Masing-masing memiliki filosofi sendiri-sendiri.
5. Gamelan
Dari segi fisik, gamelan surakarta lebih kecil dan ramping, warna ukirannya mencolok. Ukirannya juga cenderung menonjol, dan lebih feminim. Sedangkan gamelan yogjakarta besar dan instrumennya lebih banyak, nadanya putus-putus dan jaraknya jauh. Untuk segi ukiran, gamelan yogjakarta ukirannya tidak menonjol, bahkan cenderung simple.
6. Tarian untuk Pernikahan
Jika kalian ingin menampilkan tarian di acara pernikahan kalian, pastikan tarian yang disuguhkan benar berasal dari adat yang kalian pakai. Memang tarian yogjakarta masih belom dipublikasikan untuk umum. Namun, jika kalian ingin menampilkan tarian, pilih lah Kamajaya Kamaratih. Sedangkan untuk tarian surakarta, tarian yang bisa kalian tampilkan adalah tari Gatot Kaca Gandrung.
Yaaaahh.. Ternyata banyak juga perbedaan antara Yogjakarta dengan Surakarta ya. Meskipun sama-sama jawa, namun keduanya berasal dari kerajaan yang berbeda. Namun, tetap saja, dahulu mereka adalah satu, yaitu kerajaan Mataram.
Semoga info dari saya berguna dan dapat menambah pengetahuan pembaca mengenai kebudayaan jawa. Ingat, jangan biarkan tradisi kita hilang ditelan oleh jaman! Seperti nasihat PB X, "Perkenalkan budaya kita kepada dunia!".
Semoga bermanfaat :) selamat malam :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar